Beranda | Artikel
Hizbut Tahrir Neo-Mutazilah
Senin, 16 Desember 2019

HIZBUT TAHRIR NEO-MU’TAZILAH

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Dihadapan saya ada dua pertanyaan. keduanya bertemu pada satu titik. Yaitu tentang Hizbut Tahrir.

Pertanyaan Pertama :
Saya telah membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya mengagumi banyak pemikiran mereka. Kami menginginkan agar anda menerangkan atau memberi faidah kepada kami tentang sekelumit kelompok ini?

Pertanyaan Kedua:
Berbicara sekitar persoalan diatas, tetapi penanya meminta kepada saya penjelasan yang luas tentang Hizbut Tahrir. Tujuan-tujuan serta pemikiran-pemikirannya. Apakah dia menyimpang dalam hal aqidah ?

Sebagai jawaban dari dua pertanyaan ini. Saya katakan:
Sesungguhnya kelompok atau perkumpulan Islam mana saja yang tidak tegak diatas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam serta diatas manhaj Salafus Shalih tentu ia dalam kesesatan yang nyata! tidak diragukan lagi, bahwa kelompok mana saja yang tidak tegak diatas tiga sumber ini akhirnya hanyalah kerugian belaka. Sekalipun sangat ikhlas dalam dakwahnya.

Pembahasan saya sekarang ini, adalah tentang jama’ah-jama’ah Islam yang seharusnya menjadi jama’ah yang ikhlas karena Allah saja, dan menjadi penasehat bagi umat. Sebagaimana telah datang penjelasannya dalam sebuah hadits shahih.

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.

Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” [Riwayat Muslim dari hadits Tamim ad-Daari]

Yang demikian itu karena perkara ini adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Rabb kita dalm Al-Qur’an al-Karim:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ 

Dan orang-orang yangb berjihad untuk (mencari keridhaan)Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami ” [Al-Ankabut/29 :69]

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah diatas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta diatas manhaj Salafus Shalih, niscaya orang yang demikian termasuk orang-orang yang dikatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu” [Muhammad/47:7]

Jadi manhaj Salafus Shalih ini merupakan pokok agung yang seharusnya setiap jama’ah Islam berada diatasnya dalam menegakkan dakwah. Berdasarkan pengetahuan saya terhadap semua jama’ah serta kelompok yang ada sekarang ini di negeri-negeri Islam, maka akan saya katakan bahwa sesungguhnya mereka semuanya kecuali jama’ah yang satu (saya tidak mengatakan : “Kecuali (kelompok/hizb yang satu) karena jama’ah ini tidaklah bertahazub (berbuat hizbiyah) tidak pula berkumpul dan berfanatik kecuali kepada pokok-pokok yang telah disebutkan tadi yaitu Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan Manhaj Salaf. Saya mengetahui dengan baik bahwasanya semua jama’ah selain jama’ah ini tidak menyeru kepada pokok yang ketiga, padahal (pokok itu) adalah asas yang kuat. Mereka hanya menyerukan (agar orang kembali) kepada al-Kitab dan Sunnah saja tanpa menyerukan keduanya (agar orang berpijak) kembali pada manhaj Salafus Shalih. Dan sebenarnya akan menjadi terang bagi kita arti penting dari qaid (syarat pengikat) yang ketiga ini manakala kita perhatikan nash-nash syar’i yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa kitab (al-Qur’an) maupun Sunnah.

Dalam kenyataan, jama’ah-jama’ah Islam modern bahkan firqah-firqah Islam, dari sejak dimulainya penyimpangan diantara jama’ah-jama’ah Islam pertama yaitu sejak hari keluarnya Khawarij menentang Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan sejak mulainya Al-Ja’ad bin Dirham berdakwah dengan dakwah Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah lain yang sudah dikenal nama-namanya semenjak dahulu namun yang sekarang diperbaharui nama-namanya dengan nama-nama yang baru. (kenyataan dari) semua firqah ini, baik firqah yang dahulu maupun yang sekarang, tidak terdapat satu firqah pun(diantaranya) yang mengatakan dan menyuarakan dia berada diatas manhaj Salafus Shalih.

Firqah-firqah ini dengan segala perbedaan/perselisihan yang ada diantara mereka, baik dalam masalah hukum maupun furu`(cabang), mereka semua sama-sama mengatakan : “Kami berada diatas (pijakan) Al-Kitab dan as-Sunnah” akan tetapi mereka berbeda dengan kita katakan yang mana perkara tersebut justru merupakan kesempurnaan dakwah kita,  yaitu perkataan dan diatas manhaj Salafus Shalih.

Berdasarkan kenyataan ini, siapakah yang akan menghukumi (manakah yang paling benar) diantara firqah-firqah ini. Yaitu firqah-firqah yang secara pengakuan dan secara dakwah paling tidak berintima’ (menisbatkan diri) kepada al-Kitab dan as-Sunnah? hukum apakah yang bisa digunakan untuk menentukan kata putus diantara mereka sedangkan mereka semuanya mengatakan diatas kalimat yang satu? jawabnya tidak ada jalan untuk menghukumi bahwa satu jama’ah diantara mereka itu berada diatas kebenaran (al-Haq) kecuali jika dia menisbatkan diri (intima’) kepada manhaj Salafus Shalih.

Disini, seperti yang dikatakan di zaman sekarang menjadi tanda tanya yang terlontar pada diri sendiri. Yaitu dari manakah kita mendatangkan kalimat tambahan : dan diatas manhaj Salafus Shalih?

Jawabnya : Sesungguhnya kita mendatangkannya dari Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan dari apa yang ditempuh oleh para Imam Salaf, baik dari kalangan sahabat, tabi’in maupun pengikutnya yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah seperti halnya yang mereka katakan sekarang. Yang paling pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah menguasainya itu lalu Kami masukkan ia kedalam jahannam. dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisaa/4 :115]

Firman Allah (pada ayat diatas) : “Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin”. Dihubungkan dengan firman Allah : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul”. Maka seandainya ayat ini berbunyi:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

(Tanpa firman Allah وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ)  tentu ayat ini menunjukkan benarnya firqah-firqah yang dahulu maupun yang sekarang. Sebab mereka semua mengatakan: “Kami berjalan pada rel al-Kitab dan Sunnah”! sekalipun secara pengalaman mereka (sebenarnya) tidak berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena mereka tidak mengembalikan masalah-masalah yang mereka selisihkan kepada Al-Kitab dan Sunnah. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih utama akibatnya” [An-Nisaa/4:59]

Jika anda mengajak salah seorang dari kebanyakan ulama dan dai-dai mereka (supaya kembali) kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya ia akan berkata : “Aku hanyalah mengikuti madzhabku” Dimana orang ini mengatakan :”Madzhabku Hanafi”, sedangkan yang satu itu mengatakan “Madzhabku Syafi’i…” dan begitulah seterusnya. Mereka mendudukkan taqlid (sikap mengekor) mereka kepada imam-imamnya sama dengan kedudukan ittiba’ terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan demikian apakah mereka berarti telah merealisasikan ayat ini ? tidak, sama sekali tidak. Berdasarkan kenyataan ini, lalu apakah gunanya pengakuan mereka bahwasanya mereka berada diatasa al-Kitab dan as-Sunnah selama secara amaliyah (pengamalan) mereka tidak merealisasikannya?

Ini adalah contoh yang tidak saya maksudkan untuk orang-orang taqlid (awam). Tetapi yang saya maksudkan adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang-orang taqlid yang lebih mendahulukan pendapat para imam yang tidak maksum daripada firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang maksum. Dengan demikian tidaklah Allah menyebut kalimat itu ditengah-tengah ayat secara sia-sia, tetapi kalimat itu disebut untuk menanamkan suatu asas dan membuat suatu kaidah. Yaitu bahwa kita tidak boleh menyerahkan pemahaman Al-Kitab dan As- Sunnah kepada akal kita yang serba ketinggalan zaman dan (serba) terbelakang dalam pemahaman.

Kaum muslimain hanyalah benar-benar dikatakan mengerti mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah secara mendasar dan sesuai dengan kaidah, bila disamping berpegang pada Al-Kitab dan As-Sunnah juga berpegang pada apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Sebab ayat ini mengandung nash bahwa kita wajib untuk tidak menyelisihi dan tidak menentang Rasul. Sebagaimana juga mengandung ketentuan agar kita tidak menyelisishi jalannya kaum mukminin. Artinya kita wajib mengikuti (ittiba’ kepada) Rasul dan tidak menentangnya. Begitupula kita wajib mengikuti jalannya kaum mukminin dan tidak menyelisihinya. Dari sinilah pertama-tama kami katakan, bahwa setiap kelompok atau setiap jama’ah Islamiyah wajib melakukan pembetulan asas geraknya. yaitu dengan cara berpegang teguh kepada Al-Kitab dan Sunnah serta pemahaman Salafus Shalih.

Tetapi sayang sekali ikatan syarat (yang terakhir) ini yakni (pemahaman Salafus Shalih) tidak diambil oleh Hizbut Tahrir, tidak pula oleh Ikhwanul Muslimin dan tidak pula oleh kelompok-kelompok Islam semisal mereka. Adapun kelompok-kelompok yang terang-terangan mengumumkan perang terhadap Islam seperti Partai Ba’ats dan Partai Komunis maka bukan disini sekarang pembicaraannya.

Jika demikian halnya, maka sepatutnya setiap muslim dan muslimah mengetahui bahwa suatu garis jika sudah bengkok sejak dari pangkalnya maka garis bengkok itu akan semakin menjauh dari garis yang lurus. Setiap kali telapak kaki melangkah pasti langkahnya semakin bertambah menyimpang. Garis lurus itu adalah (garis) yang dikatakan oleh Allah Rabbul’ Alamin dalam Al-Qur’anul Karim :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya” [Al-An’am/6 :153]

Ayat yang mulia ini jelas dan qathi’ dalalah (pasti penunjukannya) sebagaimana yang menjadi kesukaan serta ciri khas Hizbut Tahrir diantara kelompok-kelompok yang ada dalam dakwahnya, risalah-risalahnya dan ceramah-ceramahnya. Dikatakan qathi’ dalalah, karena ayat itu menyatakan bahwa jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah itu hanya satu. Sedangkan jalan-jalan lain adalah jalan-jalan yang akan menjauhkan kaum muslimin dari jalan Allah.

Firman Allah Ta’ala.

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”[Al-An’am/6 : 153]

Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam telah menambahkan penjelasan dan keterangan terhadap ayat ini . Karena memang demikianlah kedudukan sunnah beliau selamanya. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an ketika Dia berbicara kepada Nabi-Nya :

أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” [An-Nahl/:44]

Sunnah Nabi Shalallau alaihi wa sallam merupakan penjelas yang sempurna bagi Al-Qur’an. Sedangkan Al-Qur’an adalah pokoknya. Ia merupakan perundang-undangan bagi Islam. Untuk lebih mendekatkan kejelasan permasalahannya bagi akal. Saya terangkan (berikut ini) :

Al-Qur’an, bila diibaratkan dengan sistem perundang-undangan buatan manusia, ibarat undang-undang dasarnya. Sedangkan As-Sunnah, bila diibaratkan dengan aturan-aturan buatan manusia, ibarat aturan yang menjelaskan undang-undang dasar tersebut. Oleh karena itu termasuk sesuatu yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, bahwasanya tidak mungkin memahami Al-Qur’an tanpa penjelasan Rasulullah. Ini merupakan perkara yang telah disepakati. Tetapi sesuatu yang diperselisihkan oleh kaum muslimin dan (yang kemudian) pengaruhnya bermacam-macam setelah itu, ialah bahwa setiap firqah sesat zaman dahulu tidak melihat (mengangkat kepalanya pada) syarat pengikat yang ketiga yaitu ittiba’ (mengikut) kepada Salafus Shalih. Oleh sebab itulah mereka menyelisihi ayat yang telah saya sebutkan berulang-ulang tersebut yakni.

وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan mengikuti jalan selain kaum mukminin ” [An-Nisaa/4:115]

Akhirnya merekapun menyelisihi jalan Allah. Karena jalan Allah itu hanya satu, yaitu seperti yang disebutkan dalam ayat terdahulu ( yakni):

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan, janganlah, kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan (lain) itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya” [Al-An’am/6 :153]

Saya (Syaikh Albani) katakan: Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini ketika salah seorang sahabat beliau yang terkenal ilmu fiqihnya, yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan :

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا بِيَدِهِ مُسْتَقِيْمًا فِي اْللأَرْضِ ثُمَّ خَطً حَوْلَهُ خُطُوْ طًا قَصِيْرَة ثُمَّ أَشَارَ إِلَى الخَطً اْلمُسْتَقِيْم وَقَرَأَ : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ، قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَهُوَ يَمُرُّ بِأَصْبُعِهِ عَلَى اْلخَطً اْلمُسْتَقِيْمِ : هَذَا صِرَاطُ اللَّهِ، ثُمَّ أَشَارَ إِلَى الْخُطُوْطِ اْلقَصِيْرَةِ مِنْ حَوْلِهِ فَقَالَ : هَذِهِ طُرُقٌ وَعَلَى رَأْسِ كُلِّ طَرِيْقِ مِنْهَا شَيْطَانُ يَدْعُوالنَّاسَ إِلَيْهِ

Suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam membuat sebuah garis dengan tangannya untuk kita ditanah dengan garis lurus. Kemudian beliau membuat garis disekitarnya dengan garis-garis pendek. Lalu beliau menunjuk garis yang lurus seraya membaca (firman Allah): Dan Bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Beliau sambil menggerakkan jarinya keatas garis yang lurus bersabda : Ini adalah jalan Allah , kemudian beliau menunjuk kegaris-garis yang pendek disekitarnya, lalu beliau bersabda: Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap ujung pangkal jalan-jalan itu ada setan yang menyeru manusia menuju jalan-jalan tersebut.[Hadits ini melalui jalan periwayatan yang maknanya senada diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hakim dan Nasa’i dengan sanad yang baik]

Hadits ini ditafsirkan oleh hadits lainnya lagi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahlus sunnan (penyusun kitab-kitab sunan) seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan para imam hadits yang semisalnya melalui jalan periwayatan yang banyak dari sejumlah sahabat seperti Abu Hurairah, Mu’awiyah, Anas bin Malik, dan lainnya dengan sanad yang baik (jayyid) , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِفْتَرَقَتِ اْليَهُوْدِ عَلَى إِحْدَى وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةٌ ، وَ افْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُم أُمَةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةُ ، كُلُهَا فِى النَّار إِلأَ وَاحِدَةَ، قُلْنَا : مَنْ هِىَ يَا رَسُوْلَ الله ؟ قال : مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَأَصْحَابِي

“(Kaum) Yahudi telah terpecah belah menjadi 71 kelompok (firqah). (kaum) Nasharani (Kristen) telah berpecah belah menjadi 72 firqah. Dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 firqah , semuanya di neraka kecuali satu. Lalu (para sahabat) bertanya : Siapakah dia wahai Rasulullah ? beliau menjawab ; Dia adalah apa yang aku dan sahabatku berada diatasnya

Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang jalannya kaum mukminin yang tersebut dalam ayat itu [An-Nisaa/4:115].

Siapakah gerangan orang-orang mukmin yang disebutkan dalam ayat tersebut? mereka adalah orang-orang yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dalam hadits alfiraq (perpecahan) ketika beliau ditanya tentang kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah) tentang manhajnya, sifatnya dan pangkal geraknya. Maka beliau menjawab : “Apa yang aku dan sahabatku ada diatasnya

Karena itu hal ini wajib mendapat perhatian! sebab jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut jika bukan wahyu dari Allah, maka dia adalah tafsir dari Rasulullah terhadap “jalannya kaum muminin” yang disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla tadi. Itulah yang dimaksud dengan ayat :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jaln orang-orang mukmin…”

Allah telah menyebut Rasul dalam ayat tersebut dan telah menyebut pula jalannya orang mukmin. Sementara itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam telah pula menyatakan tanda-tanda golongan yang selamat yang tidak termasuk dalam 72 golongan yang binasa. Yaitu bahwa (golongan yang selamat itu) adalah golongan yang berdiri diatas apa yang Rasul dan para sahabatnya ada diatasnya (yakni sejalan dengan pemahaman Rasul dan para Sahabatnya).

Kita mengetahui benar, bahwa ketika Allah Azza wa Jalla berfirman kepada manusia, maka Dia hanyalah berbicara kepada orang-orang yang berakal, kepada para ulama dan kepada orang-orang yang berfikir. Akan tetapi kita (juga) mengetahui bahwa akal manusia berbeda-beda. Karena akal ada dua, akal muslim dan akal kafir. Akar kafir ini bukanlah akal. Karena akal menurut bahasa Arab adalah sesuatu yang mengikat dan mengendalikan pemiliknya dari kemungkinan terpeleset ke kanan atau ke kiri. Sementara itu tidak mungkin orang berakal tidak terpeleset ke kanan atau ke kiri, kecuali jika mengikuti Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikatkannya dengan pemahaman Salaf.

Oleh karena itu, Allah menceritakan pengakuan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik pada hari kiamat, bahwasanya mereka bukanlah orang-orang yang berakal. Allah ‘azza wajalla berfirman :

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata : Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal terhadap peringatan itu niscaya tidaklah kami menjadi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala ” [Al-Mulk/67:10]

Berdasarkan ayat diatas mereka mengakui bahwa ketika mereka berada dalam kehidupan dunia bukanlah orang-orang yang berakal. Padahal diantara mereka terdapat orang-orang cerdik pandai yang dapat mengetahui perkara yang tampak dari kehidupan dunia. Sebagaimana telah Allah sebutkan dalam kitab-Nya:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai” [Ar-Ruum/30:7]

Jika demikian berarti disana ada dua akal ; yaitu akal hakiki (akal yang sebenarnya) dan akal majazi (tidak hakiki). Akal hakiki adalah akal muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan akal majazi (tidak hakiki) adalah akalnya orang-orang kafir yang menyatakan pengakuannya :

 لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sekiranya kami mendengar atau menggunakan akal terhadap peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala ” [Al Mulk/67:10]

Secara umum Allah juga telah berfirman tentang orang-orang kafir.

لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا

Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah” [Al-A’raaf /7:179]

Orang-orang kafir memiliki hati, tetapi mereka tidak berakal (berfikir) dengannya. Yakni mereka tidak mempergunakan hatinya untuk memahami kebenaran!

Maka setelah kita mengetahui hakikatnya, saya tidak menyangka ada perselisihan padanya, karena hal itu jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi dari hakikat ini saya ingin sampai pada hakikat lain yang merupakan pembahasan dalam bukti-bukti dan dalil-dalil ini.

Jika akal orang kafir bukanlah akal, maka akal muslim juga terbagi menjadi dua. Akal seorang muslim yang ‘alim (berilmu) dan akal seorang muslim yang bodoh. Akal seorang muslim yang bodoh tidak mungkin sama pemahamannya dengan akal seorang muslilm yang berilmu (‘alim) selamanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [Al-Ankaabut/29 :43]

Dia juga berfirman.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui” [An-Nahl/16:43]

Dengan demikian seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menetapkan akalnya sebagai sumber hukum. Tetapi dia (justru) harus menjadikan akalnya tunduk kepada firman Allah dan sabda Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wa  sallam.

Dari sini kita menemukan satu titik dalam dakwah Hizbut Tahrir. Bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam dasar pijaknya mengenai jalan (cara) keimanan (thariqul iman). Jalan keimanan (thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang terdapat dalam kitab Nizham Al-Islam (aturan-aturan Islam) yang dikarang oleh pemimpin mereka yaitu : Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.

Saya (Syaikh Al-Bani) pernah berjumpa dengannya (Taqiyuddin An-Nabhani) beberapa kali. Saya mengenalnya dengan baik dan mengenal apa yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir dengan sangat baik. Karena itu Insya Allah saya berbicara berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak diatasnya.

Inilah dia Point Pertama yang (harus) mereka tanggung, yaitu bahwa mereka menjadikan akal memiliki keistimewaan lebih dari yang semestinya. Disini akan saya ulas lagi, bahwa tidak berarti saya menafikan (meniadakan) kedudukan akal dalam islam. Tetapi saya hanya ingin menegaskan bahwa akal tidak memiliki hak untuk menjadi penentu bagi Al-Kitab dan As-Sunnah. Tetapi akal-lah yang wajib tunduk kepada (ketentuan) hukum Al-Kitab dan As-Sunnah serta berita-berita keduanya. Tidak lain kewajiban akal melainkan memahami segala hal yang dibawa al-Kitab dan as-Sunnah.

Dari sinilah kaum Mu’tazilah zaman dahulu menyimpang. Mereka mengingkari banyak sekali hakikat (kebenaran) yang besar karena mereka menjadikan akal berkuasa atas nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Lalu mereka mentahrif (merubah makna/lafal) nash-nash tersebut, mengganti dan menukar-nukar (makna)nya. Dengan bahasa ungkapan para Ulama Salaf, mereka menta’thil (menolak makna) nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah.

Ini adalah satu point yang saya ingin agar pembaca memperhatikannya. Yaitu bahwa semestinya akal seorang muslim itu tunduk kepada nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah serta kepada pemahaman keduanya. Maka yang menjadi pemutus perkara (hakim) adalah Allah dan Rasul-Nya. Bukan akal manusia yang menjadi hakim. Sebab berdasarkan apa yang telah kita sebutkan, bahwa akal manusia itu berbeda-beda. Ada akal muslim dan adapula akal kafir. Kemudian antara akal muslim yang berilmu dengan akal muslim yang bodoh juga berbeda, karenanyalah Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman, dan kiranya tidaklah mengapa kita mengulang-ulang dalil karena pembahasan ini sedikit sekali mengetuk telinga (pendengaran) banyak dari berjuta-juta kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Karena itulah saya terpaksa mengulang-ulang point-point dan dalil-dalil ini. Diantaranya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [Al-Ankaabut/29 : 43]

Disini kita berhenti sebentar (dan bertanya) siapakah orang-orang yang berilmu itu? adakah mereka para ulama kafir? sama sekali bukan ! kita tidak menghargai mereka, sebab mereka bukan orang-orang yang berakal. Karena pada hakikatnya mereka hanyalah orang-orang yang memiliki kecerdasan berhubung mereka telah menciptakan, membuat dan telah mencapai kemajuan materi yang sudah dikenal semua orang. Demikian juga akal (yang ada) pada kaum muslimin. Akal ini tidaklah sama, akal orang yang berilmu tidak sama dengan akal orang bodoh. Dan akan saya kemukakan lagi sesuatu yang lain, yaitu bahwa akal orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya tidak akan sama dengan orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah telah menyimpang dalam banyak landasan/asas yang mereka tetapkan menyelisihi jalan syariat, baik Al-Kitab , As-Sunnah maupun manhaj Salafus Shalih. Inilah point pertama , yaitu penyandaran Hizbut Tahrir kepada akal lebih dari yang semestinya.

Point Kedua : Apa yang menurut saya merupakan cabang dari point pertama, yaitu bahwa mereka membagi nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah menjadi dua bagian. Dari segi periwayatannya dan dari segi dalalah (penunjukannya). Adapun dari segi periwayatannya, mereka berkata bahwa riwayat Qath’iyatu ats-Tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam) dan ada kalanya Zhanniyatu ats-Tsubut (masih belum jelas apakah benar sumbernya dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Sedangkan dari segi dalalah (penunjukannya) juga demikian. Adakalnya Qath’iyau ad-Dalalah (pasti dan jelas penunjukannya) dan adakalanya Zhanniyatu ad-Dalalah (masih belum jelas penunjukannya).

Kita tidak akan memperdebatkan istilah-istilah ini karena hal ini sebagaimana dikatakan tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi yang kami perdebatkan adalah bilamana mereka menggiring (maksud) istilah ini menuju hal-hal yang menyimpang yang menyelisihi pemahaman kaum muslimin generasi pertama.

Dari sinilah akan tampak nyata bagi semua orang tentang arti penting Sabilul Mu’minin (jalannya kaum mukminin), sebab sabilul mu’minin ini merupakan pengikat yang dapat mencegah terpelesetnya seorang ‘alim yang muslim, apalagi yang bodoh, dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah bila dia merujuk kepada istilah yang semisal diatas yang tidak boleh jika membuahkan hasil-hasil berikut ini. Yaitu bahwa mereka telah menggiring peristilahan tersebut menuju hal berikut.

Kata mereka, bahwa apabila datang suatu nash dalam Al-Qur’an dan nash tersebut tidak diragukan lagi menurut istilah yang telah disebutkan terdahulu disebut Qath’iyatu ats-Tsubut tetapi Zanniyatu ad-Dalalah, maka seorang muslim tidak wajib berpegang kepada makna yang terkandung didalamnya. Karena dia Zhanniyatu ad-Dalalah.

Dengan demikian (menurut mereka) tidak boleh bagi seorang muslim untuk membangun aqidahnya berdasarkan nash yang Qath’iyatu ats-Tsubut tetapi Zhanniyatu ad-Dalalah.

Begitu juga sebaliknya, jika datang suatu dalil yang Qath’iyatu ad-Dalalah tetapi tidak Qath’iyatu ats-Tsubut seperti keadaan pada umumnya hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran aqidah.

Dari sinilah kemudian mereka datang dengan membawa aqidah baru yang tidak pernah dikenal oleh Salafus Shalih. Mereka membuat istilah-istilah khusus bagi mereka. Buku-buku mereka yang memuat permasalahan ini cukup dikenal. Yang saya maksudkan adalah buku-buku mereka terdahulu. Sebab (sekarang) mereka telah melakukan pelurusan-pelurusan didalamnya. Dalam hal ini saya termasuk orang yang paling tahu tentang adanya pelurusan-pelurusan ini. Akan tetapi dalam kenyataannya hanya pelurusan semu saja, kalaupun betul kita akui adanya pelurusan itu. Namun hal tersebut hanyalah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bingung, hingga dalam aqidahnya.

Sebab mereka (tetap saja) mengatakan bahwa aqidah tidak (bisa) tegak kecuali berdasarkan dalil yang qath’iyatu ats-tsubut dan qath’iyatu ad-dalalah. Yaitu bahwa hadits shahih secara riwayat dan qath’i (pasti) secara dalalah (penunjukannya), tidak bisa dijadikan sebagai sandaran aqidah. Karenanya, kita katakan kepada mereka sebagai debat dan bantahan kita terhadap mereka : “Aqidah (keyakinan) ini kamu ambil dari mana ? Mana dalil yang menunjuk-kan tidak bolehnya seorang muslim mendasarkan aqidahnya pada hadits shahih atau nash yang tidak mencapai derajat mutawatir dan tidak pula qath’iyatu ad-dalalah? Darimanakah anda mendatangkan kaidah tersebut ?

Ternyata mereka rancu dalam menjawabnya. Pembahasan mengenai ini panjang sekali. mereka berdalil dengan semisal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ 

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka” [An-Najm/53:23]

Dan firman-Nya.

وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran”[An-Najm/53:28]

Namun pembahasan seperti ini akan, mengeluarkan kita dari pembahsan yang semestinya mengenai apa yang kita ketahui tentang Hizbut Tahrir. Karena diskusi mengenai kaidah ini dan penjelasan tentang hal-hal yang ada padanya akan selalu mendapatkan bantahan-bantahan. Disamping diskusi itu hanya akan ditegakkan berdasarkan argumen yang hakikatnya seperti fatamorgana yang disangka air oleh orang yang kehausan.

Oleh karena itu, kita cukupkan (pembahasannya) pada keterangan yang telah kita kemukakan (diatas) perihal kaidah mereka yang sesat. Yaitu yang berbunyi bahwa :

Tidak boleh seorang muslim membangun aqidahnya berdasarkan hadits shahih yang tidak Qath’iyatu ats-Tsubut walaupun Qath’iyatu ad-Dalalah

Darimanakah mereka dapatkan ini ? sama sekali tidak ada dalilnya bagi mereka, baik dari Al-Qur’an, as-Sunnah maupun dari pemahaman Salafus Shalih. Bahkan pemahaman Salaf menentang hal ini !.

Pemikiran ini sesungguhnya dibangun oleh sebagian kelompok khalaf (kelompok yang tidak berfaham salaf) dari kalangan Mu’tazilah terdahulu beserta pengikutnya dizaman sekarang. Paling tidak dalam hal aqidah. Mereka itu adalah Hizbut Tahrir.

Saya katakan, bahwa setiap kita mengetahui sesungguhnya ketika Allah mengutus beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemberi kabar gembira serta pembawa peringatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ 

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya , Allah memelihara kamu dari gangguan manusia” [Al-Maidah/5: 67]

Maka penyampaian beliau terhadap risalah-Nya kepada manusia, kadang-kadang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan sendiri dengan menghadiri pertemuan-pertemuan dan perkumpulan-perkumpulan mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara secara langsung kepada mereka. Tetapi kadang-kadang beliau mengutus seorang utusan untuk mengajak orang-orang musyrik agar mengikuti dakwah Nabi yang mulia. Dan kadang-kadang pula beliau hanya berkirim surat, sebagaimana telah diketahui berdasarkan sejarah, (misalnya-red). Kepada Hiraqlius raja Romawi, kepada Kisra raja Persia, kepada Al-Muqauqis dan kepada pemimpin-pemimpin Arab, sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sejarah.

Dan termasuk yang pernah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan, ialah mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, Abu Musa Al-Asy’ary Radhiyallahu anhu dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Dihyah al-Kalby Radhiyallahu anhu ke Romawi. Mereka semuanya adalah individu-individu yang khabar (pemberitaan/periwayatan)-nya menurut kaidah Hizbut Tahrir diatas, tidak berfungsi sebagai khabar (pemberitaan/periwayatan) yang qathi’ (pasti) sebab mereka adalah individu-individu (perorangan). Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu (di Yaman-red) berada disatu tempat, Abu Musa Radhiyallahu anhu di  tempat yang lain, dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ditempat yang lain lagi. Bisa jadi pula waktunya berbeda.

Disana ada sebuah hadits dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Beliau berdua mengeluarkan hadits shahih tersebut dengan sanad yang shahih :

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu anhu ke Yaman, Beliau bersabda kepadanya :

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله

Jadikanlah yang pertama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada yang berhak diibadati dengan benar kecuali Allah….)”

Siapakah orang Islam yang ragu bahwa syahadat ini merupakan asas/pokok pertama? artinya sebagai (asas) aqidah pertama yang diatasnya dibangun ke imanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya? sesungguhnya Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu anhu telah pergi sendirian saja sebagai penyampai dan juru dakwah yang menyeru kaum musyrikin agar mereka beriman kepada agama Islam.

Anda lihat apakah hujjah sudah (cukup) tegak dengan Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu anhu manakala beliau mengajak kaum musyrikin untuk masuk Islam dan memerintahkan mereka agar menegakkan shalat lima waktu dalam sehari semalam, yaitu shalat yang terdiri dari dua, empat, dan tiga raka’at sampai kepada rincian-rinciannya yang sudah kita ketahui bersama-alhamdulillah-? Beliau juga memerintahkan mereka untuk mengeluarkan dari harta zakat yang berhubungan dengan emas, perak, buah-buahan, sapi, onta dan lain-lainnya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sudah (cukup) tegak hujjah Islam bagi kaum musyrikin dengan hanya diutusnya Mu’adz bin Jabal sendirian ? (tentu) menurut madzhab Hizbut Tahrir- dengan amat menyesal– hujjah belum tegak. Sebab Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu anhu hanya seorang diri hingga bisa dimungkinkan untuk berdusta seperti menurut perkataan mereka?! Apabila kita katakan bahwa kedustaan itu terlalu jauh dari Mu’adz bin Jabbal, tetapi (menurut Hizbut Tahrir-red) tidak akan kurang dari kemungkian untuk dikatakan bahwa boleh jadi beliau berbuat salah atau lupa.

Sesungguhnya mereka telah datang membawa sebuah filsafat, bahwa kita tidak boleh mengambil aqidah Islamiyah dari hadits shahih. Kalau begitu orang-orang Yaman ketika diseru oleh Muadz bin Jabbal Radhiyallahu anhu untuk beraqidah, berarti hujjah belum tegak bagi mereka, karena Muadz bin Jabbal Radhiyallahu anhu sendirian saja (dalam menyampaikan Islam). Padahal diantara orang-orang Yaman itu ada yang penyembah berhala, ada yang Nasrani dan ada pula yang Majusi. Menurut kaidah Hizbut Tahrir ini, hujjah dalam masalah aqidah belum tegak bagi mereka?!

Adapun dalam masalah hukum fiqih Hizbut Tahrir berpandangan seperti pendapat umumnya kaum muslimin. (Yaitu bahwa) dengan hadits ahad (hadits yang tidak mutawatir-red). Bisa ditetapkan hukum-hukum syariat. Sedangkan masalah aqidah (menurut Hizbut Tahrir) tidak dapat ditetapkan dengan hadits ahad?!

Inilah Mu’adz bin Jabbal Radhiyallahu anhu. Beliau menjalankan gambaran aqidah ahad dalam Islam secara menyeluruh, baik dalam hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) dalam masalah i’tiqad (aqidah) maupun hukum (fiqh). Dengan demikian, dari mana mereka datang dengan membawa pemilahan-pemilahan tersebut?

Firman Allah Subahanhu wa Ta’ala.

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ

Ini tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun mengenainya” [A-Najm/53:23]

Disini saya ingin mengakhiri pembahasan yang berhubungan dengan hadits ahad ini, dimana Hizbut Tahrir menolak puluhan hadits shahih berdasarkan kaidahnya yang lemah dan tidak memiliki kekuatan sama sekali. yaitu kaidah bahwa hadits -hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah.

Maka saya ingin akhiri pembahasan ini dengan poin-poin berikut ini.

DA’I HIZBUT TAHRIR DIPERMALUKAN MUSLIMIN JEPANG
Ada salah seorang diantara mereka menyebutkan bahwa seorang da’i Hizbut Tahrir pergi ke Jepang, ia menyampaikan serentetan ceramah kepada mereka. Diantara ceramah yang disampaikannya adalah tentang jalan iman. Diantara isi ceramahnya, bahwa masalah aqidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan hadits ahad. Ternyata disana, ditengah hadirin ada seorang pemuda yang berakal, cerdik dan pandai. Ia berkata kepada penceramah itu :

Wahai Ustadz.., anda datang sebagai da’i ke Jepang. Sebuah negeri syirik dan kufur. Sebagaimana anda katakan, bahwa anda datang dalam rangka berdakwah agar mereka (masyarakat Jepang) masuk islam. Anda mengatakan kepada mereka bahwa Islam menyatakan sesungguhnya aqidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan khabar ahad (pemberitaan satu orang). Anda juga berkata kepada kami bahwa termasuk perkara aqidah ialah agar jangan mengambil aqidah dari berita satu orang individu. Anda sekarang menyeru kami agar menerima Islam, padahal anda seorang diri. Maka berdasarkan filsafat anda ini, sebaiknya anda pulang saja kenegeri anda, lalu bawalah (kemari) puluhan orang Islam seperti anda yang semuanya mengutarakan pernyataan seperti pernyataan anda. dengan demikian khabar (berita) anda menjadi mutawatir!!

Demikianlah pemuda itu menjatuhkan penceramah tersebut. ini hanyalah satu diantara banyak contoh yang membuktikan akibat buruk bagi siapa saja yang menyelisihi manhaj Salafus Shalih.

Ada sebuah hadist dalam shahih Bukhari dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jika seseorang diantara kamu duduk dalam tasyahud akhir, hendaklah ia berlindung dari empat perkara. (hendaknya) ia mengucapkan do’a : ya, Allah sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam , dari siksa kubur, dari fitnah ketika hidup dan mati, dan dari fitnah al-masih ad-Dajjal. [Hadits senada juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih]”

Hadits di atas termasuk jenis hadist ahad, tetapi ia adalah hadits yang termasuk aneh dan asing menurut filsafatnya Hizbut Tahrir. Sebab dari satu sisi mengandung hukum syar’i. Hukum syar’i menurut mereka (dapat) tertetapkan berdasarkan hadits ahad. Namun, disisi lain mengandung aqidah karena disana ada azab kubur dan ada fitnah Dajjal. Padahal mereka tidak mengimani siksa kubur dan tidak pula mengimani fitnah Dajjal yang besar yang kisahnya telah diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Diantaranya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ

Tidak ada satu fitnahpun sejak diciptaknnya Adam hingga hari kiamat yang lebih berbahaya dari fitnah Dajjal” [Riwayat Ahmad, Muslim, dan Al-Hakim]

Mereka Hizbut Tahrir tidak mengimani (bakal munculnya) Dajjal ini, karena menurut anggapan mereka hadits tersebut bukanlah hadits mutawatir. Maka sekarang kita katakan kepada mereka: “Apa yang bisa kalian lakukan terhadap hadits Abu Hurairah Radhiyalalhu anhu (sebelumnya) yang disatu sisi mengandung hukum syar’i (yaitu disyariatkannya membaca doa tersebut diakhir shalat-red). Dengan demikian kalian harus mengucapkan doa pada akhir shalat :

وَأَعُوْ ذُبِكَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ 

Aku berlindung diri kepada-Mu dari azab kubur

Tetapi mungkinkah kalian meminta perlindungan diri dari azab kubur sedangkan kalian tidak mengimani adanya azab kubur ?

Dua hal yang saling berlawanan tidak mungkin dapat berkumpul. Namun, kemudian mereka datang kepada kita dengan kilah-kilah yang sesungguhnya dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengatakan :”Bahwa kami membenarkan azab kubur tetapi kami tidak mengimaninya?!

(Ini jelas) filsafat yang aneh sekali. Mengapa mereka jadi begini? sesungguhnya mereka telah datang membawa filsafat pertama, kemudian mereka terperangkap secara sambung-menyambung kedalam banyak filasafat. akhirnya dengan filsafat-filsafat itu mereka keluar dari jalan lurus yang pernah ditempuh para sahabat Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam. Sementara itu hadits tersebut sebagaimana telah dijelaskan adalah panjang penjelasannya.

Sesungguhnya diantara dakwah Hizbut Tahrir yang selalu mereka kumandangkan adalah bahwa mereka ingin menegakkan hukum Allah dimuka bumi. Saya hendak mengingatkan bahwa Hizbut Tahrir tidak sendirian dalam tujuan ini. Semua jama’ah dan kelompok-kelompok Islam pada akhirnya adalah bertujuan sama yaitu ingin menegakkan hukum Allah dimuka bumi.

Tetapi pertanyaannya adalah apakah kelompok-kelompok Islam ini-yang diantaranya adalah Hizbut Tahrir- berada pada jalan Allah yang lurus seperti yang pernah ditempuh Nabi dan para sahabatnya ? jawabnya ialah sebagaimana yang selalu kami isyaratkan dalam syair:

كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ

Semua mengaku punya hubungan dengan Laila, Tetapi Laila tidak mengakuinya

Tidak seorangpun dalam jama’ah ini yang mengikatkan pemahamannya terhadap Islam dengan pengikat yang kami sebutkan ini, yaitu pemahaman Salafus Shalih. Karena itulah mereka jauh dari pertolongan Allah. Sebab Allah hanya akan menolong orang yang menolong agamaNya. Jalan pertolongan Allah adalah ittiba‘(mengikuti) Kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya dan jalannya orang-orang mukmin. Syarat inilah yang dilupakan oleh firqah-firqah terdahulu maupun oleh golongan-golongan (hizb-hizb) modern sekarang ini, termasuk didalamnya Hizbut Tahrir yang pemikiran-pemikirannya menyimpang dalam aqidah.

Karenanya kami ulangi lagi apa yang kami kemukakan pada permulaan tulisan ini. yaitu bahwa : Jama’ah manapun yang aqidah serta manhajnya tidak berpijak pada pemahaman Salafus Shalih, maka jama’ah itu tidak akan dapat menegakkan Islam. Baik itu Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, atau jama’ah lain manapun. Sebab mereka tidak menegakkan dakwahnya pada pokok-pokok (landasan-landasan) yang tiga yaitu : Kitab Allah, Sunnah Rasulullah yang shahih dan Manhaj Salafus Shalih….!!!

Kiranya cukuplah (pembahasan-red) sampai disini saja. dan ini adalah peringatan, mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum mukminin. Wallahu’alam bishawwab, Walhamdulillahirabbil’aalamin.

(Diterjemahkan dari Hizbut Tahrir Mu’tazilatul Judud, edisi Indonesia Hizbut Tahrir Neo Mu’tazilah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 3/Tahun I II/1418H/1997M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/13853-hizbut-tahrir-neo-mutazilah-2.html